Rukun dan Syarat Khutbah Jum’at | Menurut Pandangan Empat Ulama Mazhab

Gambar : Khutbah Jum'at
    Khutbah adalah perkataan yang mengandung mauizah dan tuntunan  ibadah yang di ucapkan oleh Khatib dengan memenuhi Rukun Dan Syarat yang telah di tentukan oleh syara’. Para Ulama Fiqh sepakat bahwa khutbah merupakan syarat keabsahan Shalat Jum’at berdasarkan Surah Jum’at ayat 9 dan dipertegas dalam beberapa Hadist.
    Rukun dan Syarat Khutbah Jum’at ini kalau kita telusuri dalam kitab-kitab Ulama Fiqh terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama, berikut penulis mencoba mengutarakan pandangan empat mazhab yang berkembang di Asia, khususnya Indonesia.
1.Menurut Mazhab Hanafi
Dalam Mazhab Imam Hanafi yang dimaksud dengan Rukun Khutbah adalah suatu ungkapan yang mengandung Tahmid, Tasbih, atau Tahlil dan mempunyai makna mauizah tentang agama. Dalam pandangan Imam Hanafi, dua Rukun Khutbah bukan sebagai pengganti dua raka’at shalat. Sehingga mengulang Rukun Khutbah merupakan sunat belaka. Sedangkan syarat - syarat khutbah menurut Imam Hanafi : 
a)Khutbah disampaikan sebelum shalat zhuhur
b)Khutbah harus dibarengi dengan niat
c)Dilakukan dalam waktu zhuhur
d)Harus di dengarkan oleh jama’ah yang sah jum’at, walaupun hanya 1 orang
e)Mualat antara khutbah dengan shalat
2.Menurut Mazhab Maliki
Dalam kajian Mazhab Imam Maliki, Rukun dua khutbah yaitu ungkapan taushiah untuk mengajak umat beriman, taat, taqwa kepada Allah SWT, serta menjauhkan diri perbuatan maksiat kepada-Nya.

Dengan syarat- syarat sebagai berikut :
a)Khutbah disampaikan sambil berdiri 
b)Khutbah disampaikan setelah zawal (matahari berada di puncak tengah hari) 
c)Taushiah yang disampaikan di akui oleh orang Arab sebagai khutbah 
d)Khutbah harus dalam masjid 
e)Khutbah disampaikan sebelum shalat 
f)Harus didengar minimal oleh 12 orang jama’ah dari awal sampai akhir 
g)Dibaca secara jihar sehingga jelas didengarkan oleh jama’ah 
h)Khutbah harus dengan Bahasa Arab, walaupun jama’ahnya orang ‘ajam 
i)Mualat antara khutbah dengan shalat
Dalam Mazhab Imam Maliki, khutbah dan imam harus dilakukan oleh satu orang, tidak boleh gotong royong, seperti yang sudah menjadi adat di daerah kita selama ini, kecuali ada keozoran.
3.Menurut Mazhab Syafi’i
Dalam Mazhab Imam Syafi’i, rukun khutbah ada 5 (lima) :
1.Puji Allah SWT dengan ungkapan “Alhamdulillah” pada tiap-tiap dua khutbah 
2.Baca Shalawat dengan lafazh “Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad”pada kedua khutbah 
3.Wasiat dengan lafazh “Ittaqullah” atau  Athiullah” atau lainnya 
4.Baca ayat, dari salah satu surat dalam alqur’an pada salah satu khutbah 
5.Baca do’a bagi kaum muslimin dam muslimat pada khutbah kedua 

Lima rukun diatas dilakukan dengan harus memenuhi 15 syarat/ketentuannya, yaitu :
1.Khutbah disampaikan sebelum shalat zhuhur
2.Sedang khutbah tidak boleh beralih ke hal lain, seperti tahmid saat bersin (sama seperti shalat)
3.Berdiri bagi yang kuasa
4.Disampaikan dalam bahasa Arab bagi yang mampu
5.Dilakukan dalam waktu zhuhur
6.Duduk antara dua khutbah
7.Harus di dengarkan oleh 40 orang jama’ah yang sah jum’at, termasuk khatib didalamnya
8.Mualat antara khutbah dengan shalat
9.Khatib harus suci dari najis, hadast besar, dan hadast kecil
10.Menutup aurat
11.Khatib harus laki-laki
12.Khatib harus orang yang shah jadi imam dan dinobatkan oleh jama’ah
13.Khutbah harus disampaikan pada tempat yang shah jum’at (dalam masjid)
14.Harus dapat menguasai dan membedakan rukun-rukun khutbah
15.Mengi’tiqadkan sunat-sunat khutbah sebagai sunat, artinya khatib harus dapat membedakan rukun dan sunat, sehingga dapat menempatkan posisinya masing-masing, minimal tidak menganggap yang sunat sebagai rukun khutbah.
4.Menurut Mazhab Hambali
Mazhab Imam Hambali menetapkan Rukun khutbah sebagai berikut :
1)Puji Allah SWT pada tiap-tiap dua Khutbah, dan mesti dengan ungkapan “Alhamdulillah”
2)Shalawat kepada Rasulullah SAW, mesti dengan ungkapan “Asshatu ’ala rasulillah”
3)Membaca ayat alqur-an (minimal satu ayat) yang mengandung makna
4)Wasiat taqwa dengan lafazh “Ittaqullah” atau lainnya
    Sedangkan do’a pada pandangan Imam Hambali, hanya sunat belaka. Bila seorang khatib naik mimbar  dan memberi salam lalu duduk, setelah muazzin selesai azan dia menyatakan ungkapan puji lalu shalawat dan kemudian membaca wasiat da membaca ayat al-qur’an, kemudian duduk. Maka selesailah khutbah pertama.
    Setelah duduk tuma’ninah, lalu berdiri dan membaca kembali ungkapan puji lalu shalawat dan kemudian membaca wasiat untuk ta’at dan taqwa lalu membaca do’a sungguh khatib itu telah berkhutbah dengan sempurna sesuai dengan uraian mazhab yang tersebut di atas.
     Dari uraian diatas dapat kita simpulkan bahwa masalah khilafiyah adalah masalah yang hukumnya tidak disepakati para ulama secara mutlak, munculnya perbedaan pendapat tentang hukum suatu masalah sebenarnya hak para ulama yang punya kapasitas istinbath hukum. Sebab mereka lah yang punya alat dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum agama. Kita sebagai orang awam tentu tidak punya perangkat alatnya dan otoritas untuk menyimpulkan sebuah hukum agama.
     Hanya inilah ulasan artikel tentang masalah khilafiah di antara ulama mazhab yang dapat saya simpulkan, jika ada penulisan kata-kata yang salah kami memohon maaf, dan bersedia menerima masukan untuk kebenaran artikel ini kedepan.
Reactions

Post a Comment

7 Comments

Anonymous said…
Assalamu'alaikum,

Adakah buku atau artikel yang bapak rekomendasikan terkait dengan tulisan ini?
Terima kasih.
Mirja AMK said…
waalaikum salam . . .
salam kenal, trims komennya, artikel ini saya kutip dari kitab al fiqh al-islami wa adillatuhu, juz 2, karangan wahbah al-zuhaili.
Kisah Foto said…
Assalamu'alaikum

terima kasih, tulisannya mencerahkan :)
Unknown said…
haruskah kita ambil hukum dari satu madzab imam? di indonesia misal bolehkah ambil
fatwa imam Hanafi misalnya. bagaimana jika Bacaan hamdalah tidak dibaca ulang pada
kutbah kedua? sahkah sholat jum'atnya apa harus mengqodlo? Skrn jzklh
Unknown said…
sahkah khutbah dan sholat jum'atnya jika di khutbah kedua tidak mengulang hamdalah?